Hujan Membawa Kenangan


Hujan, datang ketika awan tengah bersedih. Teringat benakku yang terlintas saat kecil. Ia menumpahkan seluruh beban yang ia tanggung dengan menangis tersedu-sedu. Sedu sedan itu merupakan guntur yang mengiringi. Lucu memang, mengingat betapa pikiran saat kita belum mengenal dunia. Hanya pikiran-pikiran sederhana dan menangis hanya karena mainanku direbut oleh adik atau kakakku.

Setelah beranjak duduk di bangku sekolah aku mengetahui bahwa hujan bukan pertanda awan dan langit sedang bersedih. Singkatnya, matahari terjadinya evaporasi hingga menyebabkan proses kondensasi. Terbentuklah embun. Suhu udara yang kian tinggi membuat titik-titik embun semakin banyak dan memadat hingga membentuk menjadi awan. Angin membawa awan yang berat ke daratan yang lebih rendah dan tumpahlah semua titik-titik air dari awan. Rintik-rintik air yang jatuh dari langit itulah yang akhirnya kita kenal sebagai hujan. Ah, semakin lucu bukan? Jika kuceritakan proses alamiah yang sebenarnya menyebabkan hujan turun.

Saat kecil, ketika hujan turun aku akan tersenyum sumringah ke luar rumah berlarian di atas lapangan hijau atau sekadar berdiri dengan payung yang terbalik, membiarkan air yang turun dari langit membasahi setiap inci tubuhku. Namun, semua berubah saat negara api menyerang.

Ya, aku semakin beranjak dewasa. Usiaku semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Alih-alih bermain hujan bersama adik atau teman-teman di luar rumah, aku yang kini akan mengurung diri di kamar. Hanya mampu memandangi hujan lewat jendela kamar yang berembun. Aroma tanah basah karena hujan tidak lagi menguar dan menggelitik indra penciumanku. Sebab tanah telah berganti semen. Semen basah terkadang membuat genangan karena selokan tak lagi dapat menampung air yang mengalir. Jelas semua orang tahu apa penyebabnya. Yap, sampah.

Atau jika aku tengah berada di luar rumah saat hujan turun dan tidak membawa payung, aku akan bergegas mencari tempat berteduh. Entah berhenti di depan ruko atau halte, hanya agar badan ini tidak terkena percikan air sedikit pun. Kini kupahami, mengapa orang dewasa selalu melarang anak kecil untuk bermain di luar rumah kala hujan turun. Nanti, adakalanya kamu juga akan merasakannya dan mengerti. Kehidupan selalu berubah.


Kini, jika hujan turun saat sedang berada di rumah. Aku akan menyumpal kedua telingaku dengan headset, memutar musik yang tersambung pada ponselku. Sebuah lagu sendu untuk menemani sepi kala hujan turun. Terkadang pula, aku membaringkan diri di atas kasur sambil membaca sebuah novel. Ya, hal-hal yang menurut sebagian orang membosankan untuk dilakukan. Hanya itu.

Seringkali ku bertanya-tanya, mengapa setiap hujan turun apalagi musim penghujan tiba. Untuk sebagian orang hujan selalu membawa kenangan dan memori ingatan apapun itu. Entah sedih atau bahagia. Tapi, lebih banyak sedih, jika kupikir-pikir ulang. Seperti saat ini misalnya.

Entah apa yang tengah kutuliskan. Karena sedang musim penghujan pada Januari 2019 diawal tahun ini, tiba-tiba terlintas benakku untuk menulis.

Kalau kamu? Apa yang kamu lakukan jika sedang hujan seperti ini? 

Untuk yang sibuk bekerja, jangan lupa membawa jas hujan jika kamu membawa kendaraan bermotor. Dan untuk yang masih setia dengan memakai kendaraan umum, jangan lupa juga untuk selalu membawa payung. 

Selamat musim penghujan.

Pict source from Pinterest

Comments