Review Novel Saman Karya Ayu Utami

Sebelum aku bakal mengulas Novel yang bikin aku terkagum-kagum, aku mau cerita sedikit nih. Jadi, aku seneng banget dapat menemukan Novel ini tanpa dicari dan dengan cara yang sangat kebetulan. Rasanya seakan aku berjodoh dengan Novel ini (wkwk apaan sih). Aku yang sedang mencari buku referensi untuk tugas kuliahku di Perpustakaan Kampus, menemukan sebuah Novel Saman karya Ayu Utami pada rentetan buku yang tertata dalam rak. Melihat nama penulisnya, tanpa pikir panjang aku langsung meraih buku tersebut. Novel Saman Woiii! Penulis Ayu Utami, yang sebelumnya aku juga punya Novel beliau yang berjudul Si Parasit Lajang. 

Aku mengetahui nama beliau lewat salah satu Dosen kritik sastraku di Kampus, ia mengatakan bahwa Novel karya Ayu Utami sebenarnya bagus-bagus, menyimpan banyak pesan moral juga sisi feminisme. Tapi, memang isinya sangat vulgar. Tapi, pliss di sini aku cuma mau mengapresiasi sebuah sastra. Jadi, tolong kesampingkan Hal yang menyangkut 'itu'. Karena aku akan bahas isi Novel ini di sini.

Novel Saman merupakan novel yang memenangkan Sayembara Roman 1998. Gak salah sih, karena Novel ini benar-benar sangat berisi. Jadi, udah tau dong ya sedikit latar belakang penulis yang satu ini. 

Sebenernya aku juga agak ragu untuk mengulas Novel Saman, dimana penulisnya merupakan orang yang mempunyai nama besar dan karyanya bahkan sudah terbit sejak aku baru lahir. Istilahnya mah, aku tidak begitu sering membaca Novel genre begini.

Cuss, langsung aja.


Judul Buku: Saman
Penulis: Ayu Utami
Jumlah Halaman: 208 hlm
Tahun Terbit: 1998
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Novel ini bercerita tentang sosial, pedalaman, kekuasaan pihak-pihak beruang, dan diselipi pandangan feminisme, khas sekali Ayu Utami.

Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, serba tahu dan terkadang beralih pada sudut pandang orang pertama, menggunakan Aku.
Alur ceritanya maju mundur, yaitu diawali dengan tahun masa kini 1996 dan setelahnya juga menceritakan masa lalu 1962 dan tahun-tahun berikutnya.

Cerita berawal pada tokoh perempuan bernama Laila yang sedang menunggu Sihar, lelaki beristri yang ia cintai di kota New York. Hingga diceritakanlah bagaimana pertemuan akhirnya mereka berdua bisa saling bertemu, walaupun Sihar sudah punya istri. Yaitu lewat pekerjaan Sihar yang seorang pekerja di pertambangan minyak dan Laila sebagai fotografer.

Menurutku ini menarik banget, dijelaskan dengan rinci bagaimana kilang minyak di dek kapal beroperasi. Dimana Laila dan Sihar yang tidak menetapkan status sebagai sepasang kekasih, apalagi Sihar sudah punya istri, tapi mereka berdua seringkali bermain belakang. Tidak pernah lebih jauh dari berhubungan seks sih, hanya sekadar berciuman, bercumbu, dan bermesraan. Laila sadar sebenarnya akan dosanya, walau ia masih perawan. Juga Sihar yang sudah beristri.

Juga saat ada kecelakaan yang menelan korban nyawa pekerja kilang minyak karena paksaan seorang pemimpin bernama Rosano, namun permasalahan tersebut tidak sampai diadili. Alasannya karena kecelakaan kerja di kilang minyak memang sering terjadi dan merupakan Hal umum. Seakan-akan nyawa beberapa pekerja yang tewas tidaklah berarti. Apalagi diketahui hal tersebut karena Rosano merupakan anak seorang pejabat. Makinlah kekuasaan menindas yang lemah.

Cerita berlanjut pada Wisanggeni, seorang lelaki yang akhirnya mengubah namanya menjadi Saman. Ia adalah seorang pastor yang baru diangkat. Namun, karena ada sebuah penasaran sejak masa kecilnya yang masih belum terjawab oleh dirinya, ia meminta untuk ditugaskan menjadi pastor di Perabumulih. Desa di Sumatera Selatan, tempat ia tinggal dulu saat kecil. Namun, akhirnya keterlibatannya dengan Upi, seorang gadis berusia 15 tahun yang ia temui di Rumah lamanya membuatnya menjadi Makin penasaran. Upi berpenampakan fisik sangat amat menyedihkan, ia digambarkan mempunyai sebelah mata yang menjorok keluar dan satunya lagi menjorok ke dalam, belum lagi kondisi mentalnya yang terganggu. Walau begitu, ia mempunyai postur tubuh perempuan yang semakin matang pada usianya. Buah dadanya ikut membesar seiring usianya bertambah. Hal yang sangat disayangkan, ia semacam orang Gila yang haus akan seks. Seringkali ia menggesek-gesek tubuhnya pada pohon atau tiang, melakukan masturbasi. Tidak jarang pula penduduk sekitar yang memperkosanya. Keadaannya sangat memprihatinkan, ia sampai harus dipasung oleh keluarganya sendiri di sebuah kandang.

Singkat cerita semakin terlibatnya Wisanggeni di perkebunan karet tempat bekerja ibu dan kakak Upi dan warga sekitar. Hingga suatu hari perkebunan karet tersebut ingin diambil alih oleh pihak yang mengaku-ngaku dari pemerintahan. Menggantikan perkebunan karet dengan perkebunan kelapa sawit. Tentu saja para penduduk setempat tidak setuju. Namun, teror yang dilakukan para orang yang mengaku dari pihak pemerintah tak henti-hentinya ditujukan pada penduduk setempat. Memaksa penduduk untuk menandatangani kertas kosong.

Novel ini benar-benar mempunyai komposisi yang padat, seluruh masalah sosial hingga agama dan menyinggung soal feminisme, kerusuhan Mei 1998, dimana orang-orang beruang di masa itu sangat berkuasa dan bisa melakukan apa saja demi tercapai apa yang mereka inginkan. Bahasa yang digunakan penulis pun sangat puitis dan mempunyai makna mendalam. Puitis di sini bukan sekadar kalimat puisi cinta-cintaan anak remaja masa kini yang sering sambat tentang kekasih. Tapi, lebih kepada pemilihan diksi yang digunakan penulis adalah menggunakan majas. Sehingga indah dibaca. Namun, perlu diingat bagi kamu yang hendak membaca novel ini diharapkan mempunyai pemikiran terbuka berkaitan dengan beberapa hal yang dibahas dalam novel tersebut. Tapi, memang terkadang itulah realita yang terjadi di Indonesia.

Sekian deh aku mengulas Novel Saman. Mohon maaf kalau penyampaianku kurang berkenan dan terima kasih sudah membaca hingga akhir.


Comments