Depresi dan Kelam

Jujur, aku bingung harus memulai tulisan ini. Padahal saat belum menuliskannya otakku terus berputar bersahutan dalam kepala. Saling bergaung satu persatu ingin diutarakan. Tapi, lagi-lagi yang dapat tertulis di sini malah tulisan gak jelas.

Baiklah, mari mulai tulisan ini dari kekesalanku. Sebenarnya, awalnya aku gak kesel juga sih. Cuma, ini bisa tiba-tiba jadi kesel dipicu karena sebuah pertanyaan simpel dan sederhana. Saat lagi asyik chat-an biasa, ngobrolin sesuatu yang fine aja. Tiba-tiba dia malah nanyain tugas kuliah. Heloooo... Ini lo mau pamer lu udah bimbingan sama dospem lo apa gimana? (karena saat dia chat begitu, gue lihat storynya ngucap syukur udah bimbingan) ya bodo amat kali, lo mau udahan bimbingan kek! Terserah lo! Ya, sorry ini aku sensi banget. Karena lagi libur gini mana bisa sih aku ngerjain skripsian. Laptop gak punya, komputer juga. Udahlah tambah males gue kalo makin diperjelas bahas ginian.

Tapi, mau tau gak sih?

Kalau kamu mau lihat seseorang jujur, suruh deh mereka nulis isi hati mereka. Atau baca aja diary mereka.
Karena tulisan yang ditulis berdasarkan pikiran dan perasaan tanpa adanya bumbu imajinasi adalah kejujuran yang sejati.
Catet nih, catet. Wkwk cielah gegayaan gue nulis quote. Enggak, deng. Ini mah biar blogku kelihatan dibacanya kayak terkesan keren aja gitu. Gak monoton curhatan yang isinya sambat mulu. Walau, ya emang isinya bakal sambat aja sih. Ya entah deh, kemana tuh ide menulis buat menjadikan blog ini bermanfaat ketimbang nulis gaje begini.

Seperti tulisan yang kamu baca saat ini. Bisa dibilang, mau semerawut apapun isi pikiranku dan kubilang di awal kalo aku bingung mau nulis apa. Intinya dan pada akhirnya aku tetep menuliskan isi kepalaku. Walau gak sesuai ekspektasi. Inginnya sih tulisannya bisa dibaca mendalam dengan kata-kata penuh makna dan buat orang lain juga tergugah. Cuma, rasanya aku jauh dari kata itu.

Ceritanya, aku habis menamatkan sebuah film Jepang berjudul "The Flowers of Evil". Sebuah film yang akhirnya membuatku ingin segera menulis setelah menontonnya. Ya, tulisan yang entah ini bakal mereview atau curhat sih?


Film yang membuatku banyak bertanya-tanya. Sama seperti saat aku membaca novel Gagal Menjadi Manusia. Kenapa aku kaitkan dua hal ini bersamaan? Karena walaupun mempunyai genre yang berbeda, tema yang diusung mempunyai konsep yang sama. Bisa kuartikan, kedua-duanya mempunyai tokoh yang depresif dan merasa sendirian? Namun, dengan cara berbeda. Ya, jelas berbeda. Padahal, saat aku selesai membaca novel Gagal Menjadi Manusia, yang terpikir olehku adalah 'kenapa aku membaca novel ini?', 'aku tuh baca novel apa sih?'. Sementara saat kulihat beranda instagramku banyak yang menyanjung buku tersebut. Like, boom! Ada apa dengan otak cetekku?

Tapi, dalam film The Flowers of Evil kisahnya sama-sama kelam, dan bisa bikin baper. Apalagi kalau udah dalam bentuk visualisasi ya, bisa tergambar jelas. Bedanya mungkin saat membaca kita bisa membayangkan tokohnya sendiri dan lebih mendalami isi pikiran tokoh yang gak bisa dijelaskan lewat visualisasi.

Mungkin, saat kamu menonton film The Flowers of Evil kamu bakal berpikiran ini film apa sih? Gue nonton film porno apa ya? Ya, karena isi filmnya gak jelas tapi bener-bener dark dan bikin muter otak. Ada apa dengan tokoh Nakamura? Kenapa Nakamura begitu?

Sama halnya dengan novel Gagal Menjadi Manusia, film The Flowers of Evil juga punya tokoh utama cowok yang menurutku, kenapa dalam hampir seluruh tokoh film atau anime Jepang, tokoh cowok selalu dipuja bak dewa? Like i mean, cowok biasa aja tapi cewek-cewek pada nempel sama tuh cowok. Mau ngelakuin apapun demi si cowok. Kelihatan banget cewek yang ngejar-ngejar cowok. Aku gak akan permasalahin ini, kalau menurutku cowok itu emang keren dan punya banyak segudang talenta. Tapi, kebanyakan tokoh dalam film atau anime itu cowoknya ya b aja. Kadang malah kelewat nerd abis. Atau cowoknya cool padahal gantengnya juga standar. Kan, gue jadi body shamming. Entahlah, anggep aja kebanyakan pencipta film atau cerita di Jepang itu dikuasai laki-laki, jadi ya selalu dilihat dari sudut pandang laki-laki aja. Dan anggep aja target pasar Jepang itu mayoritas emang cowok. Tapi, kadang yang buat aku muak, seakan menggambarkan cewek gak punya harga diri. Ya, aku tahu itu hanya cerita, itu fiksi, hanya imajinasi penulis, dan gak nyata. Ya, aku gak menyalahkan orang-orang yang menyukai film atau anime dan penulis Jepang dengan karakter begitu. Karena nyatanya cerita itu dibuat ada dan masih laku dipasaran karena peminatnya pun masih ada. Entah kamu cowok atau cewek.

Kan, gara-gara ngoceh tentang karakter jadi kepanjangan. Intinya kedua karya tersebut sama-sama kelam. Tapi, endingnya punya perbedaan yang sangat jauh sih. Kalau kamu penasaran coba aja ditonton filmnya dan dibaca novelnya.

Nah, kan. Aku sekarang malah bingung mau beri judul tulisan ini apa.

Yaudah bye. Tulisan ini gak punya inti apa-apa. Artikan aja sendiri. Aku bukan penulis sungguhan yang bisa ngasih banyak masukan atau nasihat kehidupan yang baik. Aku sama tidak tahunya bagaimana menjalani hidup agar disenangi semua orang, andal dalam berbagai hal, punya segalanya, dan segudang impian manusia lainnya.

Terima kasih sudah membaca. 

Comments