Hidup bahagia harusnya seperti apa?

Dalam hidup yang kamu jalani saat ini, udah berapa orang yang kamu temui selama ini? Berapa banyak orang yang kamu kenal? Sudahkah kamu berpikir bahwa orang-orang yang kamu temui selama hidup selalu punya perannya masing-masing. Bahkan untuk orang yang kamu anggap sangat menyebalkan bagimu? Ya, saya bukan ingin menggurui. Tapi, saya kembali menyadari kalau dalam 21 tahun saya hidup, saya gak pernah berpikir untuk menghitung udah seberapa banyak saya ketemu orang-orang. Saya mengenal mereka. Intinya, bukan pada kuantitas seberapa banyak saya atau pun kamu menyadari juga memahami orang-orang yang udah kamu temui dan kenal.

Terkadang, saya seringkali lupa. Kalau setiap orang yang hadir di hidup kita selalu punya arti. Pernah baca novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tereliye gak? Kalau kamu udah baca novel tersebut, pasti tahu betul apa yang saya maksud. Ya, tiba-tiba saat tengah membahas mengenai arti setiap orang yang kita kenal, aku teringat dengan isi novel tersebut. Bagaimana bahkan seorang pengurus panti asuhan yang selalu jahat dengan tokoh utamanya punya arti paling bermakna untuk kelangsungan hidup, kesuksesan tokoh utamanya. Bagaimana teman si tokoh utama yang harus dituduh melakukan tindakan pencurian bahkan akibat perbuatan si tokoh utama. Ya... ya... ya, daritadi saya selalu menyebutkan tokoh utama tanpa menyebut namanya. Jujur aja, saya lupa namanya siapa. Karena saya baca novel tersebut udah lama.

Tapi, lagi-lagi. Tulisan saya kali ini bukan ingin mengulas novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Fyi, novel tersebut udah difilmkan sih. Oke, oke. Selesai sudah bahas novel itu. Ceritanya, aku habis baca blog yang ditulis oleh temanku. Teman SMP yang kini, kami hanya saling save nomor di WhatsApp dan follow-followan di instagram juga Twitter. Tapi, gak lebih dari sekadar jadi penonton story status masing-masing aja. Padahal, dulu kami sangat dekat.

Saya tahu dan saya sadar betul, setelah keluar dari pondok pesantren saya udah gak sereligius saat masih bersekolah di sana. Banyak hal yang udah saya lalui dengan sambat, gak terima keadaan yang harus dilalui, marah dengan keadaan dan diri sendiri, takut kehilangan sahabat, menyalahkan diri sendiri, dan seluruh perlakuan tidak adil pada diri sendiri. Ya, mungkin sampai saat ini terkadang saya masih sering merasa seperti itu. 

Hari ini, hari puasa pertama. Ramadhan telah tiba. Betapa saya ingin mengutuk diri saya sendiri, dulu saya pernah sereligius itu. Namun, yang terjadi kini sebaliknya. Setelah saya membaca blog teman saya itu, saya merasa malu dengan diri saya sendiri. Sementara dia terus berkembang menjadi manusia yang menebar kebaikan dan positif juga keceriaan, tanpa pernah lupa dengan Tuhannya. Saya merasa terkerdilkan oleh itu. Saya merasa sangat berdosa. Saat saya membaca, ya akhir-akhir ini ketimbang berkeluh kesah dengan Allah, saya lebih sering menulis sambatan di media sosial. Bahkan di blog yang saat ini mungkin kamu tersesat membacanya.

Inti tulisan ini, saya mau mengatakan, dari banyaknya orang yang sudah saya kenal dan temui selama hidup, saya sadar saya masih belum bisa melihat dan mengambil sisi positif dipertemukan dengan mereka. Perasaan iri melihat orang lain terlihat hidup lebih bahagia dengan apa yang mereka tunjukkan di media sosial. Saya pernah mengalaminya. Hal yang membuat saya makin berpikir. Saya lebih suka melarikan diri dari kenyataan. Melarikan diri dengan melakukan hal yang menurut saya bisa menjadi penghibur diri saya tanpa memusingkan berbagai hal. 

Menulis di blog ini salah satunya. Membaca novel atau buku-buku hebat, entah berbentuk fisik atau digital atau sekadar menonton serial drama. Saya lebih senang membahas hal-hal tersebut, ketimbang hal-hal sulit mengenai tugas kuliah yang tidak berkesudahan. Deadline dan pekerjaan yang sebenarnya tetap harus saya kerjakan. Saya manusia yang banyak menunda pekerjaan saya. 

Tapi, ada satu hal yang lucu dari semua kesadaran saya atas semua tindakan saya yang sebenarnya harus saya ubah jika ingin hidup lebih baik. Sepertinya saya sadar, saya masih berbuat demikian, karena nyatanya mau sebagaimanapun orang lain menyebarkan love yourself, saya membaca buku-buku hebat tentang mencintai diri sendiri, film-film bermakna love yourself, saya masih tidak menerapkan itu pada diri saya. Mungkin, itu sebabnya saya masih banyak mengeluh. Saya masih belum bisa mencintai diri saya, seperti semudah orang lain katakan. Penerimaan paling tersulit bukanlah menerima orang lain memperlakukan tidak baik terhadap kita, tapi malah penerimaan tersulit bagi saya adalah menerima diri saya sendiri. Bahwa saya begini adanya.

Comments