Review Dickinson season 1

Hai, apa kabar? 

Pertanyaan ini kulontarkan bukan buat basa-basi loh, haha. Karena aku juga mau cerita tentang beberapa hari kebelakang ini, apa yang udah aku lalui. Rasanya pastinya banyak banget yang bisa diluapkan di sini. Tapi, mungkin akan mulai dengan yang satu ini.

Weekend kemarin, temanku main ke kosanku. Kami bercakap-cakap tentang sebuah serial atau tontonan yang akhir-akhir ini baru aja kami tonton. Menariknya, tentu aja kami punya selera genre yang berbeda dalam menikmati film atau serial. Yup, intinya sih, aku lagi pengen cerita tentang serial yang baru aja aku tamatkan.

Judulnya, Dickinson. 

Poster Dickinson Season 1 (sumber Google)


Ternyata, Dickinson ini menarik banget! Tipe series Barat yang aku suka banget! Memang bukan series terbaik dari series Barat yang sudah pernah kutonton, tapi series yang satu ini unik dan sangat tipe kesukaan aku banget. Bisa dibilang lumayan nyastra kali ya?!

Sebelumnya, aku gak pernah tau seorang penyair bernama Emily Dickinson. Yup, dibandingkan Henry David Thoreau atau Louisa May Alcott, nama Emily Dickinson memang gak sefamiliar itu di telingaku. Bahkan aku ragu, ini benar-benar series biografi atau memang tokoh fiksi yang seakan diceritakan bak biografi. Jadi singkatnya, Emily Dickinson adalah seorang perempuan yang suka menulis puisi. Namun, puisinya baru diterbitkan saat ia sudah meninggal dan puisi tersebut ditemukan di kamar pembantu di rumahnya. Gimana? Udah ngerasain betapa nyastranya series ini? HAHA. Oke, biar kuperjelas.

Ceritanya Emily Dickinson ini, anak kedua dari keluarga Dickinson. Ia mempunyai adik perempuan bernama Lavinia Dickinson yang diperankan oleh Anna Baryshnikov. Kakaknya seorang laki-laki bernama Austin Dickinson, yang diperankan oleh Adrian Blake Ensoe. Fun fact, saat ini aku lagi buka Google buat menjelaskan tokoh dan aktor-aktris yang berperan di series ini. Dan bodohnya, pantesan pas aku nonton, kok wajah Emily Dickinson rasanya gak asing buat aku. Ya iyalah WOI! Doi diperankan sama Hailee Steinfeld!

Nah, balik lagi ke ceritanya, karena latar tahun ini 1830-an dimana peran gender perempuan di masa itu masih hanya tentang mengurus rumah tangga. Hanya laki-laki yang boleh belajar dan bebas. Sementara perempuan terkungkung dalam kekuasaan gender laki-laki. Menariknya lagi, bahkan diceritakan kalau Emily Dickinson merupakan hidup di tahun yang sama dengan Louisa May Alcott dan Henry David. Berbeda dengan nasib keduanya, Emily Dickinson hanya memiliki jiwa perempuan yang dianggap liar dan pemberontak tanpa pernah memublikasikan puisinya secara terang-terangan selama ia hidup.

Lucunya lagi, karena ini dibalut dengan komedi, aku bahkan gak tahu ini termasuk satire atau memang dibuat parodi aja. Diceritakan bahwa Henry David gak hidup sesuai buku yang ia tulis. Yap, kita semua tahu dong, karya legendary-nya yang paling terkenal bahkan sampai sekarang? Novel Walden karya Henry David yang menceritakan kehidupannya yang sederhana. Jauh dari pemukiman, tinggal di dekat danau yang sepi, hanya beralaskan rumah gubuk sederhana, juga pekerjaannya yang memelihara hewan-hewan. Nyatanya, dalam series ini ada sebuah episode dimana Emily dan Henry bertemu. 

Buku karya Henry David Thoreau (diambil dari hp pribadi)

And BOOM! Kehidupan Henry yang ia gambarkan dalam buku tidak sepenuhnya benar dengan realita. Saat Emily berkunjung ke Concord, danau Walden yang diceritakan Henry dalam buku tidak setenang itu, malah sangat ramai pengunjung. Rumah Henry yang jauh dari pemukiman, nyatanya Henry bahkan masih dicucikan pakaiannya oleh ibunya. Saudara perempuannya juga datang ke rumahnya untuk sekadar memberi makan pada Henry. Wow! Udah lihat gimana satirenya series ini bukan? Dari cerita singkat itu, bisa kegambarlah ya, kalau series ini lagi menyindir atau entah lah. 

Gak hanya itu, Louisa May Alcott yang ceritanya memublikasikan novel pertamanya berjudul Flower Fables ternyata digambarkan dalam series ini sebagai perempuan yang hanya mengincar uang. Berulang-ulang beberapa adegan menekankan hal itu. Ada satu scene dimana Emily diberi tips oleh Louisa tentang menulis yaitu jangan pernah menikah. Alasannya, bukan karena feminisme dan kebebasan perempuan untuk pilihan hidupnya. Tapi, karena dengan memilih sebagai lajang, ia bisa mempunyai banyak waktu luang untuk menulis banyak buku dan menghasilkan lebih banyak uang.

Buku Karya Louisa May Alcott (diambil dari hp pribadi)

Jujur, agak kesal sih sama scene itu. Karena, kayak aku gak percaya aja gitu, masa orang yang menyuarakan feminisme dan keseteraan gender pada masa itu malah dibuat satire seakan ia memilih lajang hanya untuk memperkaya dirinya. Tapi, lagi-lagi mungkin ini memang hanya series fiksi yang mengadaptasi dari biografi Emily Dickinson. Jadi, gak bisa sepenuhnya aku percayai.

Gambar Emily dengan metafora puisinya (sumber Google)

Tapi, yang aku suka dari series ini adalah daya imajinatif dari Emily Dickinson sebagai representatif dari puisi-puisi yang ia tulis. Gimana ya jelasinnya? Pokoknya visualisasinya sangat metafora. Kayak digambarin, kalau Emily sangat jatuh hati dan mendambakan kematian. Nah, gak berhenti di situ. Kematian dalam series ini gak digambarkan sebagai secara harfiah aja. Tapi, seakan-akan Emily bisa melihat kereta kuda yang merupakan representatif dari puisinya yang berwujud kematian, ia bertemu dengan lelaki di dalam kereta kuda tersebut. Aduh, ini jadinya gak jelas banget sih, saat dideskripsikan dengan kalimat. Atau tepatnya, akunya aja yang gak bisa jelasin lewat kalimat di tulisan ini. 

Gambar Emily dan Reprentasi Kematian (sumber Google)

Jadi, kusarankan kalian semua yang membaca tulisan ini harus banget nonton series ini sih, parah! Oke, jatuhnya tulisan kali ini lebih tepat disebut review kali ya, ketimbang curhat?! Udah dulu ya, aku udah capek ngetik, udah dulu yaw! Sampai ketemu di tulisanku yang lain ^^

Comments