Doing Stupidity


Hai, kamu. 

Huft. 

Sudah berapa kali kutuliskan hal ini di sini? Berapa kali lagi harus kutuliskan hal tentangmu? 

Ekspektasiku terlalu tinggi padamu. 

Harapku padamu harusnya tak pernah ada. 

Tahukah kamu? Ingin berapa kali pun kutuliskan berbagai hal tentangmu, kuseharusnya tahu, sejak awal kamu memang tak pernah menaruh harap yang sama padaku. Aku yang terlalu bodoh. 

Aku tahu aku bodoh. 

Aku sadar aku bodoh telah mencintaimu. 

Tapi, mengapa rasanya sulit tuk menerima kenyataan? 

Segala ucapanmu hanya omong kosong. 

Dan kebodohanku lainnya adalah berusaha terlihat baik-baik saja, padahal nyatanya tidak. Sulit. 

Terlalu sulit. Rasanya sakit. 

Caramu mengiyakan semudah itu meluncur dari bibir yang tak pernah kuduga kan kau ucap. Ah, tidak. Aku sadar sejak awal kamu berubah. Tepatnya, kamu berbeda. 

Kamu bukan lagi orang yang sama yang kukenal dulu. Keputusan mengakhiri adalah caraku tidak menyakiti diriku. Caraku mencintai diriku. Tapi, mengapa tetap ada rasa sesak di sana. 

Bodohnya lagi setiap saat aku masih mengingatmu. Aku berbohong kalau kubilang baik-baik saja tanpamu. Aku berbohong saat kukatakan dapat berteman saja denganmu. Ternyata hatiku tak sekuat itu. 

Kamu mungkin bisa cepat melupakanku. Karena kamu lebih banyak bertemu orang lain daripadaku. Tingkat sosialisasimu lebih baik daripadaku. Itu lah mungkin mengapa sulit rasanya aku menepikan dirimu dari benakku. 

Ah, sudah lah. Aku tahu life goes on. 

Aku tahu hanya waktu yang bisa menyembuhkanku. Atau bahkan tidak sama sekali. Bukan menyembuhkan, waktu hanya menggerus ingatan dengan kenangan baru. Dan kuharap itu bukan lagi kamu. 

Kumenunggu hari itu. Selalu. Setiap harinya. Detik ini pun. 

Comments