Apa makna kedewasaan itu?

Apa makna kedewasaan itu? Semakin kubertambah usia, semakin sering pertanyaan itu muncul di benakku. Bertemu dengan teman-teman dan bersosialisasi untuk seorang introvert seperti ini pun, ternyata juga diperlukan lho. Aku gak begitu menyadarinya, sampai tibalah pandemi, PSBB, hingga PPKM darurat menyerang. 

Tepatnya, setelah sekian lama tidak bersua dengan kawan-kawan semasa kuliah, wah ternyata seperti ini ya rasanya berkumpul bersama teman lagi. Seperti ini ya rasanya bercengkrama dan bersenda gurau dengan teman-teman yang kita kenal. Layaknya waktu yang kian mengikis usia dan pertemuan dengan orang-orang sekitar, sekadar saling bertukar kabar secara langsung dengan perkumpulan teman-teman kuliah berhasil menghiburku.

Gak terasa juga, selama ini, tepatnya akhir-akhir ini kehidupanku hanya bergumul pada keseharian yang monoton. Bangun pagi, bantu beres-beres rumah, pergi kerja, menyusun materi mengajar, bekerja, pulang bekerja istirahat, tidur, tiba-tiba sudah malam lagi aja. Hingga akhirnya bertemu pagi lagi, dan terus siklus itu berulang setiap harinya.

Melihat dan menyaksikan teman kuliah yang dulunya saat kuliah selalu jadi teman pulang bareng yang baik banget kemarin menikah rasanya tuh... Ya ampun ikut bahagia dan rasanya gak nyangka aku udah di tahap dan di fase kehidupan sekarang.

Karena aku anak kuliah reguler sore di kampus, jadi teman-teman kuliah pun memang saat itu sudah banyak yang usianya berada di atasku dan bekerja. Sementara saat aku masuk kuliah adalah berdasarkan usia setelah lulus SMA. Bisa dibilang, aku termasuk mahasiswi dengan usia paling muda di kelasku.

Jadi, saat temanku--sebut aja namanya kak Leo--menikah kemarin menanyakan usiaku dan masih berpikir aku berusia 19 tahun, aku cukup berterima kasih dan tertawa padanya karena masih mengingatku semuda itu. Sayangnya, 19 tahun adalah usiaku saat awal-awal masuk kuliah deh, kalau seingatku. Sudah sekitar empat tahun yang lalu.

Ya, Leo memang berada 6 tahun di atas usiaku. Itu berarti, sebertambah usianya, begitu pun aku. Kami sekarang bukan di usia yang muda lagi. Teman-teman TK, SD, SMP hingga SMA dan kuliah sudah semakin bertambah yang sudah berkeluarga. Aku jadi semakin berpikir--iya, aku memang terlalu banyak berpikir--aku udah tua sekarang, ya ampun!

Sedangkan, kehidupanku masih seperti ini aja. Aku memang menikmati proses pekerjaanku yang alhamdulillah semakin meningkat. Setidaknya, sekarang aku sudah tidak hanya mengajar di satu sekolah. Walau masih menjadi guru honorer, tapi aku semakin belajar untuk semakin mencintai profesiku saat ini. Berbeda sekali saat pertama kali aku terjun ke bidang ini. 

Aku masih belum menganggap diriku sebagai guru. Aku masih merasa mempunyai jiwa anak muda yang tidak mau disebut oleh siswa-siswiku sebagai panggilan depan ibu--disertai namaku. Tapi, sekarang bahkan aku tidak sungkan lagi memanggil diriku dengan embel-embel ibu--di depan namaku.

Ada satu cerita saat kemarin aku ke pernikahan temanku itu. Gak sengaja, ternyata aku bertemu mantan kekasihku di acara tersebut. Ya, dunia memang sesempit itu! Dia datang untuk menemani temanku juga yang adalah teman adik kak Leo. 

Tentu aja aku memasang mimik biasa aja. Bahkan aku menyapanya, yang malah awalnya dia terlihat menghindari bertatapan denganku. Padahal temanku yang ia temani ke acara pernikahan itu pun sedang mengobrol bersama. Ya, kami memang saling mengenal. Karena memang kami bertiga adalah teman satu SMA. 

Menyebalkannya adalah tidak ada kata yang benar-benar menggambarkan keadaan bahwa aku baik-baik saja saat tiba-tiba bertemu dengan mantan. Kemarin mungkin aku memasang senyum biasa aja, bahkan menyapanya duluan, dan bersikap sewajarnya. Tapi, beberapa detik bahkan sampai aku menuliskan ini pun, aku benci harus mengingat dia kembali.

Karena ketika kata mantan yang teringat adalah memori dan kenangan kami bersama. Perasaan yang memang sudah kubuang jauh-jauh tetap menyisakan keadaan dimana gejolak itu gak bisa aku hindari sekuat apapun aku mencoba. Bukannya apa-apa, semua itu bermuara pada...

Perasaan dimana aku ingin mempunyai pasangan, lagi. Bukan dia pastinya. Tapi, kejadian dan tulisan ini berakhir pada sebuah pemikiran bahwa aku ingin tidak menjomblo lagi tahun ini. 

Usiaku semakin bertambah. Pertanyaan dari saudara jika aku sedang berkunjung atau bertemu pasti akan terlontar kalimat, "udah punya pacar belum?", "kapan nih nyusul?", dan berbagai pertanyaan yang sudah pasti umum ditanyakan pada setiap gadis single yang sudah menginjak usia pranikah mengenai pasangan dan tetek bengeknya. 

Bukan berarti aku ingin mempunyai calon karena tuntutan usia dan omongan saudara, tetangga, teman, dll. Namun, ya, harus kuakui pemikiranku di usia sekarang memang sudah mengarah sana. Bukankah itu wajar? Berbanding jauh saat aku pernah menuliskan blog tentang pembicaraan pasangan beberapa tahun lalu. 

Iya, kali ini aku memang pure menulis karena aku mau curhat. Aku merasa perlu menuangkan apa yang ada dalam benak dan isi hatiku pada sebuah tulisan. Walaupun tidak seharusnya aku menuliskannya di platform dimana semua orang bisa membaca tulisanku. Tapi, apa peduliku dan peduli orang yang membacanya?

Toh, aku yakin setiap orang punya ceritanya masing-masing tentang kehidupan mereka.

 


Comments