Berdialog (2)

Hai! Kayaknya aku bakal jadikan tulisan dengan judul "Berdialog" sebagai caraku menuangkan isi pikiran deh. Dan yah, karena aku overload dengan overthinking-ku sendiri, muncullah tulisan ini. 

Tadi siang aku baru aja selesai nonton film Dear Nathan Thank You Salma, yap kalau emang ngikutin banget film Dear Nathan dari yang pertama, pasti tahu banget film ini adalah trilogi sebagai penutup kisah antara Nathan dengan Salma. 

Harusnya aku senang dan rasanya seperti healing setelah nonton film ini. Secara aku sudah meluangkan waktu dan uangku untuk menonton film yang memang sudah kutunggu-tunggu. Tapi... setelah percakapanku dengan temanku—yang kuajak nonton film Nathan—aku malah jadi dilema. Pemikiran-pemikiran aneh mulai menghantuiku. Pikiran yang aku sendiri pun gak ngerti kenapa. 

Aku bingung harus memulai ceritanya dari mana. Tapi, mungkin akan aku ungkapkan dari hal ini, 

Pertama, entah sejak kapan aku merasa ada yang berbeda dengan diriku. Rasanya, kalau aku ada di masa lalu, aku gak mungkin melakukan hal ini. You know what I mean, kan?! Kayak sampai sekarang aku menulis ini pun, aku masih bingung kenapa aku bisa begitu? 

Jadi, kejadiannya begini, saat aku sedang menonton film Dear Nathan Thank You Salma berdua dengan temanku, kami kedapatan tempat duduk di pojok barisan ketiga atau keempat dari layar. Di belakang tempat duduk kami, ada orang dong yang juga mengisi tempat duduk tersebut. Nah, tepat banget di belakangku ada kejadian paling menyebalkan. Yup, mbak-mbak yang duduk di belakangku, beberapa kali menggoyangkan kakinya ke sandaran kursi yang aku duduki. 

Oke, sekali-dua-sampai tiga kali kaki si mbak-mbak di belakangku menendang kursiku selama film berlangsung, aku masih diam. Aku sudah merasa mengganjal banget dong saat nonton dengan kondisi seperti itu. Karena tendangan kakinya ke kursiku cukup berasa, dan itu menggangguku tentunya. Aku masih berusaha menikmati film dan mengabaikannya. 

Hingga tendangan keempat, mulutku rasanya gatal sekali untuk segera menegor orang di belakangku. Akhirnya, aku menoleh ke belakang dan keluar begitu saja kalimat teguran pertamaku padanya. "Mbak, kakinya diem dong! Maaf." Seruku pada si mbak di belakang. Reaksinya hanya menatapku, mungkin bertanya-tanya, seakan-akan berucap, "kenapa sih nih cewek?"

Dan begitulah kalimat itu terlontar spontan dari mulutku. Aku mulai fokus dan berusaha menikmati film kembali. 

Tidak berapa lama kemudian, tendangan-tendangan itu datang lagi. Makin jengkellah aku dibuatnya. Dan aku kembali menoleh, tidak, tepatnya kini aku memutar badanku menghadap ke arahnya, dan berucap sedikit lebih lantang dari sebelumnya. "Mbak, kakinya jangan kayak di rumah dong! Maaf." Ucapku sambil menatapnya tajam. Kali ini si mbak menjawab, "Orang udah diem kok." Tatapannya mengatakan seakan tidak terima dengan teguranku. 

Namun, untungnya setelah itu tidak lagi terasa ada kaki yang menendang-nendang kursiku. Aku dan temanku menikmati film sampai habis. 

Dan, ya, kalau diperhatikan sebenarnya aku termasuk people pleasure loh. Dimana di setiap kalimat teguranku, walau aku kesal, kata "maaf" diakhir kalimat gak pupus aku bubuhkan. Mungkin secara alam bawah sadar, aku masih menghargai orang yang membuatku kesal itu dan kalau bisa sebenarnya aku adalah orang yang tidak ingin berkonflik dengan siapapun. 

Intinya adalah ini bukan pertama kalinya aku sadar ada yang berbeda dengan diriku. Rasanya kalau aku yang dulu, gak mungkin banget sih bisa menegur orang yang bahkan tidak aku kenal dengan kalimat seperti itu. Aku yang dulu, hanya akan memendam kekesalan seorang diri dan berusaha menganggap hal itu adalah angin lalu. 

Kedua, seperti yang kubilang, ini bukan kali pertama aku berani mengucapkan kata-kata pada orang asing, dalam konteks ini kata-kata di sini adalah menegur orang asing ya. 

Saat liburan kemarin, aku pulang ke rumah. Ada tetangga di samping rumah yang kedatangan tamu di rumahnya. Sehingga ada sekitar dua atau tiga motor yang memenuhi halaman di depan rumahnya. Sementara, motor milik si tetangga tidak kedapatan tempat parkir. Tiba-tiba saja, sudah ada motor yang bertengger di halaman rumah keluargaku—yang bahkan hanya muat untuk parkir satu motor. Keberadaan motor itu membuat jalanan jadi sempit dan menghalangi motor yang ada di rumah kami untuk bisa keluar. 

Kejadian itu bukan pertama kalinya dilakukan oleh si tetangga di samping rumahku. Sering sekali si tetangga memarkir motor seenak jidatnya tanpa permisi di depan rumah kami. Karena kok rasanya hati ini kuesel bukan main, iya, bukan kesel lagi, tapi kuesel! Aku keluar dan kebetulan si bapak-bapak tetangga itu malah sedang meninju pohon pisang milik keluarga kami yang ditanam di depan rumah. 

"Pak, itu motor bapak?" Aku bertanya sambil mataku melirik menunjukkan motor hijau yang diparkir di depan rumahku. Si bapak tetangga berhenti meninju pohon pisang dan menjawab, "Iya, motor saya."

Hellow bapak... Saya sedang nyindir bapak. Peka kek, seenggaknya ada kata-kata permisi atau izin gitu loh. Eh, beliau malah sok-sokan entah basa-basi atau apa, menanyakan apakah ibuku sudah pulang dari kampung atau belum. Ya, kalau belum, lalu Anda bisa seenak udel parkir tanpa permisi? Dan tidak mengorangkan penghuni rumah yaitu anak-anak dari ibuku. Seakan-akan rumah kami adalah rumah kosong, begitu?! 

Tapi, karena beliau adalah orang yang lebih tua, aku juga malas berkonflik, aku tidak menegur secara blak-blakan. Kan tidak enak juga kalau jadi ada perang dingin antar tetangga. 

Nah, ketiga adalah saat aku ada masalah dengan atasanku di tempat bekerja. Aku gak ingin menceritakan kejadian rincinya, karena itu adalah masalah privasiku. Intinya, di kejadian itu bahkan aku berani memotong pembicaraan atasanku dan mengucapkan kata-kata yang gak mungkin akan kukatakan kalau aku adalah diriku yang dulu. 

Setelah bersemedi lamanya, haha, enggak-enggak, maksudnya setelah berkontemplasi dengan benakku sendiri, aku paham. Aku sepertinya tahu asal mula aku bisa seberani itu, mengungkapkan apa yang rasanya mengganjal di hati. 

Semua berawal dari keberanianku mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupku. Memisahkan diri dari lingkungan yang bertahun-tahun sudah melingkupiku. Selama itu pula, aku selalu menjadi seorang yang memendam segala hal yang ada di benakku. Memendam dan memendam, mungkin pada akhirnya segala hal yang dipendam akhirnya tumpah ruah. Seperti kata orang, "hati-hati dengan orang yang pendiam, kalau sudah marah bisa meledak".

Konteks di sini bisa diartikan juga, seperti yang dikemukakan Dr. Murray Stein dari Carl Gustav Jung dalam teori psikologinya. Bahwa shadow yang selama ini tersembunyi dalam diriku, mulai menampakkan diri menghadang persona yang biasanya aku tampilkan. 

Dari ketiga hal yang aku sudah ceritakan, sebenarnya itu hanya salah satu kekhawatiran yang mengusikku. Ada satu hal lainnya, yang sampai aku menulis ini, aku masih menyangkal dan gak ingin percaya dengan apa yang aku rasakan. 

Ini menyinggung masalah cowok yang kuceritakan di blog berjudul "Berdialog (1)". Jadi, teman nontonku hari ini adalah cewek yang kubilang sebagai teman dari masa SMA-ku. Sebut saja namanya Mawar. 

Berulah dari iseng atau mungkin sebenarnya aku memang kepo. Aku menanyakan apakah si cowok 'itu' benar sedang mendekati Mawar. Aku menanyakan langsung pada si Mawar. Oiya, biar lebih mudah sebut aja si cowok adalah Kamboja. 

Ternyata, kuketahui Kamboja belum sama sekali mencoba menghubungi Mawar. Walaupun Mawar bilang sudah memberi nomornya pada teman kami, yang kusebut Mbak X di cerita sebelumnya. Kata Mbak X, Kamboja bingung harus memulai topik pembicaraan dengan Mawar. 

Dan di sinilah overthinking—yang aku gak tahu harus menyebutnya sebagai apa—ku bermula. "Kalau misal si Kamboja beneran udah nge-chat dan kenalan sama lo, lo bakal nanggepin gak, War?" Tanyaku pada Mawar. Dan ia mengiyakan. "Gua juga masih single, gua sih welcome aja dulu sama siapapun."

Jleb! 

Kok rasanya nyess gitu ya?! Ada apa dengan gue? Kok rasanya di hati kecil gue yang paling dalam, gue gak pingin mereka beneran jadi deket dan bahkan lebih dari itu. 

Ada apa denganku? Ada apa dengan hatiku? Padahal aku mati-matian mengatakan tidak menyukainya, saat ia tanya padaku tempo hari. 

Jujur di lubuk hati yang paling dalam, mungkin aku akan biasa aja kalau mendengar akhirnya Kamboja dekat atau bahkan mendapatkan pasangan pada akhirnya. Tapi, kenapa harus dengan temanku? Kenapa Mawar? 

Walau sebenarnya sekarang itu belum terjadi. 

Simpulannya adalah hal-hal itulah yang membuatku overthinking hari ini. 


Comments