Berdialog (5)

Ada hal yang membuatku berhenti menulis diary di buku tulis. Faktornya hanya karena suatu ucapan seseorang. Saat ini, ada hal yang membuatku akhir-akhir ini berkali-kali mandeg menuliskan apa yang kupikirkan. 

Hal pertama, aku berhenti menuliskan apa yang kupikirkan dan rasakan ke sebuah buku diary adalah karena saat itu pernah suatu kali diary-ku dibaca oleh seseorang. Setelah itu, aku tidak pernah menuliskan apa yang kupikirkan dan rasakan lagi ke dalam sebuah buku diary. Hmmm, sebenarnya gak benar-benar berhenti sih. Pernah juga aku masih menulis ke dalam diary. Tapi, intensitasnya lebih banyak berkurang, bahkan jarang. Sangat jarang. Sekalipun aku sekarang menuliskan hal ke dalam diary, yang kutuliskan akhir-akhir ini tidak segamblang seperti dahulu.

Aku menuliskan perasaan dan pikiran yang tak tersampaikan pada siapapun itu lewat sebuah kalimat yang lebih sederhana, privasi, dan tetap intinya tidak terlalu transparan. Seperti inisial nama kah, nama samaran, lokasi, hanya berisi istilah yang menggambarkannya. Huft, mungkin saat ini orang yang sedang membaca tulisan ini bingung apa maksudku. Tapi, biarlah. Karena memang tujuanku menulis di sini sekadar meluapkan perasaan. Bukan untuk dimengerti siapapun.

Yang kedua, berkali-kali aku menghapus tulisan yang sudah berada di draft blog ini karena ada seseorang yang mengatakan bahwa ia tipe orang yang tidak suka melihat orang lain terlalu terbuka tentang masalahnya di publik. Dia bilang, lebay.

Sebenarnya apa yang ia pikirkan tentang orang seperti itu tidaklah penting buatku. Tapi, entah kenapa hal itu membuatku membatasi dan berkali-kali berpikir untuk mengurungkan memublikasikan tulisan di blog ini. 

Jadi, kalau tulisan kali ini benar-benar terbit tanpa ada pengurungan niatku lagi. Tolong diingat, berarti tulisan kali ini sudah benar-benar diluar batas kesabaranku untuk menahannya seorang diri. Nyatanya, aku tetap butuh meluapkan perasaanku. Setidaknya saat ini lewat tulisan.

Dari dua hal tersebut, dapat disimpulkan kalau ternyata aku masihlah orang yang sangat memikirkan apa kata orang lain. Walaupun di luaran aku tampak seperti orang yang cuek. Di dalam hatiku, aku orang yang sangat overthingking.

Ada suatu cerita yang ingin kusampaikan di sini, karena pertanyaan yang dilontarkan temanku itu membuatku kembali berpikir. Pertanyaannya, "Lu tipe orang yang bagaimana kalau marah atau kesal dengan seseorang? Tipe yang silent treatment atau frontal aja nunjukin kalau lagi kesel."

Dan jawabanku adalah aku tipe orang yang sebenarnya akan silent treatment ke orang tersebut. Tapi, kalau orang itu ngajak ngomong aku duluan, merangkul, atau bercandain aku, atau ya seperti gak terjadi apa-apa, aku bakal meladeninya. Aku akan bersikap tetap baik padanya. Karena di pikiranku adalah aku malas aja berkonflik dengan orang lain. 

Tapi, lalu temanku bilang, "Gak boleh tau kayak gitu. Itu namanya bohongin diri lu sendiri. Gak meluapkan emosi lu dan mendem perasaan. Gak papa tau buat ngerasa marah dan kesel. Gak papa, tunjukin aja. Itu lebih sehat buat mental lu sendiri. Pasti capek banget harus fake tentang perasaan yang harusnya meledak itu." Kalimatnya berhasil membuatku berpikir.

Rasanya seperti ditampar. Dan tepat banget timing-nya aku lagi kesel sama seseorang. Dan yang kulakukan adalah seperti yang kubilang di atas. Aku gak meluapkan emosiku dengan meledak-ledak atau benar-benar full silent treatment orang tersebut. 

Setelah kupikir-pikir, benar juga. Aku jadi gak membiarkan emosiku keluar. Caraku itu membuatku untuk menahan emosi tersebut. Dibilang capek, ya pasti capek. Tapi, aku mesti gimana? Lagi-lagi yang berkelut malah pikiranku sendiri.


Comments