Bahkan Kala Poros Duniamu Hancur, Dunia Harus Tetap Berputar

Selasa, 14 November 2023.

Satu tahun, tujuh hari, pukul 15.00 WIB. Aku dipanggil ke ruang meeting oleh atasan langsungku. Hari itu aku sudah merasa—tidak—sebenarnya sejak kemarin aku sudah merasa, atmosfer yang berbeda. Hati kecilku mengatakan, ada yang tidak beres.

Mulai dari kepergian atasanku kemarin dengan rekan kerjaku selama hampir satu hari. Dengan alasan ada hal yang perlu diurus di Sister Company kami. Lalu, saat kembalinya mereka, sikap rekan kerjaku menurutku jadi sangat ganjil. 

Dia memang banyak bicara. Tapi, perlakuannya berbeda. Tiba-tiba aja, dia jadi banyak bertanya padaku. Untuk hal yang bahkan sepele. Intinya perasaanku mengatakan, dia seperti merasa bersalah. Ia tutupi perasaan itu dengan setidaknya mengajak aku bicara, bahkan untuk hal tidak penting sekalipun.

Namun, kala itu aku berpikir, okay, padahal gue gak maksa dia cerita, apa yang habis ia lakukan dengan atasan kami di luar tadi. Aku tidak berusaha mau tahu tentang masalah yang sepertinya sedang ia tutupi. Karena bagiku, ya memang mungkin aku tidak perlu tahu atau memang aku juga pasti nanti akan tahu sendiri.

Hingga saat aku duduk berdua di ruang meeting dengan atasanku, kalimat pernyataan paling tidak terduga terlontar dari bibirnya. Hmm, baiklah, ia mengawali percakapan kami dengan menanyakan "Apa kesulitan yang kamu hadapi di posisi pekerjaanmu saat ini?". Benakku masih bisa berpikir positif, oke, sepertinya dia ingin bahas penilaian kinerjaku deh.

Tentu aja aku menjawab pertanyaan itu dengan lancar. Aku menjelaskan apa adanya terkait permasalahan yang aku rasakan di bidang pekerjaanku. Ia pun menanggapi pernyataanku dengan mencatat di buku catatannya terkait poin-poin tersebut. Selesai pembicaraan mengenai masalah pekerjaan, ia akhirnya membuka topik lagi, "Sekarang saya mau bicara serius sama kamu. Ini bener-bener serius."

"Kamu pasti udah mendengar tentang Kevin"—bukan nama sebenarnya, namanya kusamarkan.

Raut wajahku menunjukkan tanda kebingungan. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Kevin. Dan kukatakan yang demikian pada atasanku.

Ia akhirnya menjelaskan. Singkat, tapi sulit diterima otak lemotku. Aku masih berusaha mencerna apa inti pembicarannya. Ia berkata, Perusahaan sedang berada dalam kondisi yang tidak baik, dengan berat hati beberapa karyawan akan kena imbasnya. Salah satunya, Kevin. Dan hari ini, hari terakhirnya.

Aku diam.

"Saya tahu kamu pasti kesal, kamu marah, tapi saya juga sangat berat menyampaikannya. Salah satu karyawan yang terkena layoff juga dari tim Saya."

Okay, aku sudah mulai menangkap arah pembicaraannya. Tapi, aku tetap bergeming.

"Dengan berat hati menyampaikannya, Nur kena layoff."

Deg! 

Sebentar!

Boleh gak, setidaknya saat itu jam berhenti begerak? Boleh gak, setidaknya otakku berjalan lebih cepat untuk memproses pernyataan itu? 

Baik, sebenarnya aku mengerti maksudnya. Sebenarnya aku paham maksudnya. Aku tahu, tapi sepertinya aku hanya salah dengar. Atau sepertinya, aku yang masih belum paham. Jadi, kutanyakan padanya,

"Sebentar, Mbak. Jadi maksudnya, ini hari terakhir saya di sini?"

"Ya, ini juga keputusan perusahaan. Besok hari terakhirmu di sini, tapi kamu bisa ambil cuti aja untuk besok."

Mendengar hal itu, aku gak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku gak tahu harus merespon bagaimana. Aku hanya terlalu terkejut sendiri mendengarnya. Rasanya proses berpikirku berjalan jauh lebih lambat dari biasanya—ya, aku tahu aku memang lemot. Tapi ini jauh lebih lemot.

Seketika perkataan tadi pagi dari rekan kerjaku membuatku berpikir semakin masuk akal. Aku gak bisa sebutkan apa pernyataannya padaku di sini, karena aku masih menghargai privasinya. Intinya, perasaanku saat itu adalah shocked

Ya, sepertinya kata shocked lebih menggambarkan keseluruhan hatiku saat itu. Lalu, apakah aku sedih? Jujur, aku malah membercandai atasanku, aku berusaha bersikap amat sangat lapang dada menerimanya.

Aku juga sempat diberi kesempatan atasanku untuk berbicara kembali dengan keputusan Perusahaan pada Direktur Utama kami. Dan aku mengambil kesempatan itu. Aku mencoba bernegosiasi kembali dengan keputusan yang sudah dinyatakan terhadapku dengan Direktur kami. Tapi, pada akhirnya keputusan itu tetap sudah jadi keputusan akhir untukku. Aku tidak bisa menggoyahkan apa yang sudah diputuskan padaku.

Lagi-lagi aku hanya berusaha sangat berlapang dada menerimanya. Aku malah sempat berpamitan, mengucapkan beberapa patah kata perpisahan dengan rekan kerja dari Divisi lain juga. Tidak ada air mata yang keluar dari sudut mataku. Honestly, sempat ada sedikit air mata yang akhirnya luruh juga sih saat berpelukan dengan teman dekatku di kantor. Tapi, bukan tangis yang terisak sampai rasanya duniaku hancur berkeping-keping—walau mungkin itu yang sebenarnya kurasakan, di lubuk hatiku. Tapi, aku berusaha tetap tegar. Aku kuat.

Hingga kutorehkan cerita itu di sini sekarang pun, sudah tanggal 23 November 2023. Sudah sembilan hari berlalu, tapi aku tidak sekalipun menangis terisak, meraung, sedih sekali dengan keputusan yang harus kuterima itu. Sedih, memang, tapi entah kenapa rasa lapang itu jauh lebih kuat tertanam di hatiku.

Karena pada akhirnya bukankah—Sekalipun poros duniamu hancur, Dunia masih akan terus berputar—kan?!